Belajar Dari Nabi Idris Alaihis Salam

Meskipun sangat sedikit catatan sejarah tentang Nabi Idris alaihis salam (as), tetap saja ada pelajaran penting yang dapat kita ambil. Menurut Syaikh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al Munir,  Nabi Idris adalah cucu dari Syits dan kakek Nabi Nuh AS dari pihak ayah. diutus kepada anak cucu Qabil yang durhaka kepada Allah SWT. Ia merupakan keturunan keenam dari Nabi Adam AS, termasuk Nabi yang sabar.

Nabi Idris as merupakan orang yang pertama kali menulis dengan pena, menjahit pakaian dan memakai pakaian yang berjahit. Dia juga orang pertama yang mengkaji ilmu perbintangan dan astronomi, memakai timbangan, takaran dan senjata untuk memerangi anak keturunan Qabil yang durhaka. Ia memiliki ilmu pengetahuan yang luas dari kemampuannya membaca dan menulis.

Dari Al Quran, kita dapat belajar dari Nabi Idris tentang beberapa sifat yang amat penting untuk dimiliki oleh setiap manusia, apalagi sebagai muslim.

  1. Benar Dan Membenarkan

Sifat utama seorang Nabi adalah benar atau jujur. Bila ini sudah dimilikinya, maka ia akan membenarkan setiap kebenaran dari siapapun, apalagi kebenaran yang datang dari Allah swt. Kepada Nabi Muhammad saw, Allah swt berfirman: Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi (QS Maryam [19]:56).

Dalam kehidupan kita sekarag dan masa datang, sifat ini sangat penting untuk dimiliki dan diwujudkan dalam kehidupan sehari. Siapapun orangnya dan apapun kedudukannya, bila bersifat benar dan membenarkan, maka ia mudah menerima kebenaran dari siapapun datangnya kebenaran itu. Tentu kita amat menyayangkan adanya orang yang karena kepentingan diri, kelompok hingga jabatan tidak mau menerima kebenaran, padahal ia tahu bahwa itu benar, dan lebih parah bahaya lagi justeru mencampur-adukkan  antara yang benar dengan yang salah, Allah swt menegaskan dalam firman-Nya: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.(QS Al Baqarah [2]:42).

Karena itu sikap seorang muslim adalah tidak ragu atas setiap kebenaran yang datang dari Allah swt, sebagaimana firman-Nya: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.(QS Al Baqarah [2]:147).

Karena itu, Rasulullah saw amat menekankan kepada kita untuk bersikap benar, beliau bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى اِلَى الْبِرِّ وَاِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى اِلىَ الْجَنَّةِ

Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan dan kebaikan membawa ke syurga (HR. Bukhari) 

  1. Derajatnya Tinggi

Siapa saja yang memiliki komitmen kepada Allah swt akan terangkat derajatnya, apalagi bila ia seorang Nabi. Karenanya, Nabi Idris memiliki derajat yang tinggi sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt: Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi. (QS Maryam [19]:57).

Mengangkat dengan kemuliaan kenabian dan kedekatan kepada Allah swt dan ketinggian surga. Maka, belajar dari Nabi Idris, setiap kita harus menjadi orang yang derajat kita tinggi dihadapan Allah swt. Dari sekian banyak, ada tiga hal yang membuat derajat kita menjadi tinggi. Pertama, keimanan yang benar kepada Allah swt, tidak ada keraguan sedikitpun, diucapkan dengan lisan dalam bentuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan diamalkan dengan perbuatan dalam bentuk amal yang shaleh. Iman seperti inilah yang sempurna sehingga bisa mengangkat derajat manusia di dunia dan di akhirat seperti yang telah ditunjukkan oleh sahabat Nabi yang bernama Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam tapi mulia di dunia karena iman dan mulia di akhirat dengan masuk ke dalam surga. Kedua, berhijrah dalam arti meninggalkan segala bentuk yang dilarang Allah swt, dan Ketiga adalah berjihad dalam arti bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada-Nya, Hal ini disebutkan dalam firman Allah swt: Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah mereka itu lebih tinggi beberapa derajat di sisi Allah dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (QS At Taubah [9]:20).

  1. Tunduk Kepada Ayat Allah.

Ketundukan kepada ayat-ayat yang datang dari Allah swt merupakan sifat yang amat mulia. Nabi Idris sebagai salah seorang keturunan Nabi Adam menunjukkan ketaatan dan ketundukan kepada ayat-ayat yang datang dari Allah swt. Allah swt berfirman: Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS Maryam [19]:58).

Belajar dari Nabi Idris as, maka kitapun harus tunduk kepada ayat-ayat Allah swt. Sebagai seorang mukmin, salah satu sikap yang harus kita tunjukkan adalah mendengar dan mentaati, Allah swt berfirman: Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS An Nur [24]:51).

  1. Sabar

Sabar merupakan sifat yang amat penting bagi setiap manusia, apalagi bagi seorang Nabi yang harus berjuang dan menghadapi begitu banyak orang. Tidak semua orang yang diajak beriman dan taat kepada Allah swt mau menerima ajakan itu. Kesabaran membuat seseorang mau terus berdakwah dan berjuang meski tidak banyak orang yang mengikutinya. Karena itu, Nabi Idris menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Allah swt berfirman: Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. (QS Al Anbiya [21]:85).

Dengan sebab kesungguhan dan kesabaran dalam berdakwah, maka banyak orang yang menjadi pengikutnya untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah swt. Karena itu, setiap kita harus memiliki sifat sabar. Secara harfiyah, sabar berasal dari kata sabara-yasbiru-sabran yang artinya menahan atau mengekang. Sabar adalah menahan diri dari bersikap, berbicara dan bertingkah laku yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt dalam berbagai keadaan yang sulit, berat dan mencemaskan. Sabar juga bermakna ketabahan dalam menerima suatu kesulitan dan kepahitan, baik secara jasmani seperti menanggung beban dengan badan berupa beratnya suatu pekerjaan, sakit dll, maupun rohani seperti menahan keinginan yang tidak benar.

Dalam berbagai aspek kehidupan, sabar sangat dibutuhkan. Dengan kesabaran, kekuatan umat Islam akan berlipat ganda, apalagi dalam peperangan, Allah swt berfirman:  Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, sebabkan mereka kaum yang tidak mengerti (QS Al Anfal [8]:65).

Karena itu, orang yang sabar akan memperoleh balasan yang tidak terbatas, hal ini karena sabar merupakan salah sifat yang  disenangi oleh Allah swt, karena itu siapa saja yang sabar dalam hidupnya, maka Allah mencintainya, dekat kepadanya dan wajar bila Dia akan memberikan balasan yang lebih baik dari kesadaran yang ditunjukkannya, bahkan balasan yang tidak terbatas atau tidak terhitung besarnya, Allah swt berfirman: Apa yang di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:96).

Di dalam ayat lain, Allah swt berfirman: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS Az Zumar [39]:10).

Dengan demikian, pelajaran penting dari Nabi Idris as akan membuat kehidupan kita berjalan dengan baik bila kita mau menerapkannya.

Penulis:

Ketua Departemen Dakwah, Ukhuwwah, dan Sumber Daya Keummatan Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Ustadz Drs. H. Ahmad Yani

Bagikan ke :