Bersikap Atas Informasi

Zaman sekarang disebut dengan era informasi. Melalui berbagai media, begitu banyak informasi setiap hari bahkan setiap menit dan detik. Ada informasi yang baik dan ada banyak yang buruk. Ada informasi yang isinya benar, tidak sedikit yang salah, bahkan berisi fitnah.

Dalam menyikapi informasi atau berita yang masuk, sebagai pemimpin Rasulullah saw sangat hati-hati, karenanya ada beberapa kejadian penting hingga menyebabkan turunnya ayat al Quran. Dalam kaitan ini, menjadi penting bagi kita untuk mengkajinya. Allah swt berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu (QS Al Hujurat [49]:6).

Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al Harits datang menghadap Nabi Muhammad saw, beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah saw, Al Harits menyatakan: “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya”. Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.

Sementara itu, Rasulullah saw mengutus Al Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun ditengah perjalanan, hati Al Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliaupun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al Harits, ia berkata: “Kami diutus kepadamu”. Al Harits bertanya: “Mengapa?”. Para sahabat menjawab: “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya”.

Al Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku”. Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw, beliaupun bertanya: “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?”, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian”. Maka turunlah ayat itu.

Surat Al Hujurat:6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi, hal 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan “berita penting”, sedangkan khabar menunjukkan ”berita secara umum”. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi”.

Buruk sangka, tidak suka melihat kemajuan yang dicapai umat Islam membuat orang munafik ingin agar Rasulullah saw dan para sahabat mengalami kebinasaan.

Zaid bin Arqam  menceritakan sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Suatu ketika saya mendengar Abdullah bin Ubay bin Salul berkata kepada teman-temannya: “Jangan sampai kalian memberikan bantuan harta kepada orang-orang yang bersama Rasul. Dengan demikian mereka akan binasa. Selanjutnya, jika nanti kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang yang mulia (yaitu kelompok kita) akan mengusir orang-orang yang hina itu (yaitu Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya) dari kota tersebut.”

Zaid selanjutnya menceritakan: “Saya lantas menceritakan ucapannya tersebut kepada paman saya yang selanjutnya menyampaikan kepada Rasulullah saw. Ketika Rasulullah memanggil saya (untuk menanyakan kebenarannya), sayapun menceritakan apa yang telah saya dengar. Beliau lantas memanggil Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya. Tetapi mereka bersumpah tidak berkata demikian. Rasulullah saw terlihat menyalahkan saya dan sebaliknya lebih mempercayai ucapan orang-orang itu. Hal itu membuat saya diliputi perasaan sedih yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ketika saya sampai di rumah, paman sayapun berkata: ‘Sesungguhnya engkau hanya membuat Rasulullah mendustakanmu dan marah kepadamu.’ Tidak lama kemudian, turun firman Allah swt: Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta (QS Al Munafikun [63]:1).

Setelah turun ayat tersebut, Rasulullah saw menyuruh seseorang memanggil saya. Beliau membacakan ayat tersebut kepada saya lalu berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah membenarkan ucapanmu’. Dalam kaitan inilah turun firman Allah swt:   Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)”. Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS Al Munafikun [63]:7-8).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Kebencian orang-orang munafik kepada umat Islam sangat besar, yang lebih berbahaya adalah kalau kebencian orang kafir ditampakkan, sedangkan orang munafik lahiriyahnya tidak tampak adanya kebencian itu, bahkan dihadapan Rasul berani bersumpah bahwa mereka tidak membenci.

Kedua, dalam menerima informasi, Rasulullah saw sangat selektif sehingga beliau tidak langsung percaya, tapi mengecek terlebih dahulu sampai ada kejelasan yang sesungguhnya.

Mengelak Dari Kesalahan.

Orang yang melakukan kesalahan seharusnya berani mengakui kesalahan agar mau dan bisa memperbaiki diri. Namun tidak demikian bagi orang Yahudi dan kasus ini erat kaitannya dengan kerancuan dalam informasi.

Ibnu Abbas ra menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Hatim bahwa suatu hari Abu Bakar Ash Shiddik mendatangi rumah Midras, ternyata banyak orang Yahudi sedang berkumpul mengitari seorang lelaki bernama Fanhash. Kepada Abu Bakar, Fanhash berkata: “Wahai Abu Bakar, demi Allah, kita sungguh tidak mempunyai kebutuhan kepada Allah. Malah sebaliknya, Dialah yang membutuhkan kita. Seandainya Dia kaya, tentu Dia tidak akan meminta pinjaman kepada kita, sebagaimana dikatakan temanmu itu (Muhammad saw).”

Mendengar kata yang menyakitkan itu, Abu Bakar marah bahkan langsung memukul wajah lelaki Yahudi itu. Fanhashpun segera pergi menemui Rasulullah saw untuk mengadukan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadapnya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, lihatlah apa yang dilakukan temanmu ini terhadapku.”

Maka Rasulullah saw bertanya kepada Abu Bakar: “Wahai Abu Bakar, apa yang membuatmu melakukannya?.”

Abu Bakar menjawab: “Wahai Rasulullah, dia telah mengatakan kata-kata yang sangat buruk. Dia berkata bahwa Allah itu fakir dan mereka tidak membutuhkan-Nya.”

Namun Fanhash tidak mengakui bahwa dia telah mengatakannya, maka Allah swt menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya”. Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): “Rasakanlah olehmu azab yang membakar.” (QS Ali Imran [3]:181).

Dari kisah di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Pertama, Ketika manusia sudah bersikap, berkata dan bertindak keterlaluan, tindakan fisik yang tidak terlalu membahayakan kadang-kadang perlu dilakukan seperti yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddik terhadap kafir Yahudi.

Kedua, Sikap mental Yahudi yang sangat buruk adalah bersalah tapi tidak mau mengakui kesalahan, bahkan berusaha menyalahkan orang yang tidak bersalah., padahal Allah swt Maha Mengetahui atas kesalahannya. Disinilah pentingnya bagi kjita apalagi para pemimpin untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi agar kita tidak menyalahkan orang yang benar, apalagi membenarkan orang yang salah hingga menunjukkan keberpihakan kepadanya.

Mengambil hikmah dari tulisan ini, maka setiap kita harus betul-betul cermat dan kritis dalam membaca dan mendengar informasi. Bila kita tidak bisa memastikan kebenaran isi informasi, maka kita tidak mudah menyebarluaskannya, khususnya melalui media social yang setiap kita dengan mudah melakukannya, karena hanya dengan klik melalui jari jemari kita.

Semoga kita terhindar dari fitnah, baik pelaku maupun sasaran fitnah.

Sumber: http://ahmadyani.masjid.asia/

Penulis: Ustaz Drs. H. Ahmad Yani

Sekretaris Departemen Pengkajian Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI)

Bagikan ke :