Jusuf Kalla, Mufidah, dan Puisi “Setengah Abad Yang Indah”

DMI.OR.ID, JAKARTA – Segenap keluarga besar Dewan Masjid Indonesia (DMI) turut bersyukur dan berbahagia atas Pernikahan Emas ke 50 Tahun Wakil Presiden RI, DR. H. Muhammad Jusuf Kalla, dan Ibu Dra. Hj. Mufidah Mi’ad Saad, pada Ahad (27/8) malam di Hotel Dharmawangsa, Jakarta.

Seperti dikutip dari laman http://www.antaranews.com, Wapres Kalla menyiapkan sebuah puisi khusus untuk istri tercintanya, Hj. Mufidah Kalla, sebagai hadiah istimewa di hari ulang tahun pernikahannya.

“Ah, kamu ini tahu saja, jadi seumur-umur ini sajak kedua yang saya bikin, pertama untuk Ambon,” tutur Wapres Kalla yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) DMI pada Jumat (25/8).

Menurutnya, puisi pertama yang dibuat ialah puisi untuk Ambon, dalam proses perdamaian pasca kerusuhan Ambon beberapa tahun lalu.

“Puisi pertama untuk Ambon itu dibuat di dalam pesawat menuju Ambon dalam waktu yang cukup singkat. Itu cuma 15 menit, kalau ini agak lama sedikit,” ungkap Wapres Kalla.

Adapun puisi kedua yang dibuat oleh Wapres Kalla ini membutuhkan waktu sekitar dua jam. Ia juga menolak untuk menginformasikan isi puisi itu kepada para wartawan. “Wah, itu nantilah, ya, sambil berpikir dua jam-lah,” ujarnya. Wapres Jusuf Kalla menikah dengan Ibu Mufidah Kalla pada 27 Agustus 1967, tepat 50 tahun yang lalu.

Dalam rilisnya kepada DMI.OR.ID, Senin (28/8) pagi, Sekretaris Departemen Komunikasi, Informasi (Kominfo), Hubungan Antar Lembaga (Hubla) dan Luar Negeri (LN), H. Hery Sucipto, Lc., M.M., menginfokan puisi yang ditulis oleh Wapres Kalla untuk isteri tercintanya, Ibu Mufidah Mi’ad Saad Kalla. Berikut ini ialah puisi berjudul Setengah Abad Yang Indah dari Wapres Kalla.

Di hari minggu yang sama setengah abad yang lalu, kita duduk bersanding dengan penuh bahagia. di aula hotel negara, Makassar yang pada waktu itu cukup terpandang. Sekarang sudah bubar itu hotel.

Setelah paginya akad nikah di rumah, yang dipenuhi para keluarga, itu hari terindah dalam hidupku. aku pertama kali melihatmu, waktu kita di SMA. Kita bersebelahan kelas. Karena kau adik kelasku. Aku terpesona dengan kesederhanaan mu. walaupun kau sempat takut tak peduli padaku. Aku menyukaimu pada detik pertama aku melihatmu.

Tujuh tahun lamanya aku berusaha untuk mendekati dan meyakinkan mu. Tapi engkau seperti jinak jinak merpati. sama dengan nama jalan di depan rumahmu. Antara mau dan tidak sering membingungkan tidak jelas. Aku bersabar berjuang dengan waktu. Namanya pacaran tapi kurang asyik seperti teman teman saya lainnya.

Kemana-mana kau dikawal oleh adik adikmu kayak Paspampres saja. Walaupun aku punya Vespa tapi kamu enggak pernah mau dibonceng. Selama tujuh tahun kita hanya sekali nonton bioskop. itupun dengan teman temanmu. sehingga untuk bisa memegang tanganmu saja, sangat sulit.

Tapi ku tahu hal yang sulit biasanya berakhir manis. akar budaya kita memang berbeda, antara Bugis dan Minang. Orang tuamu terkadang khawatir karena engkau anak perempuan satu satunya. adiknya laki-laki semua.

Orang tuaku pula sering salah mengerti adat minang. Kenapa perempuan lebih banyak menentukan. Perbedaan yang nyaris menduakan kita. Kalau ke rumahmu harus siap untuk sabar. Mendengar petuah bapak mu dengan suara yang pelan, seperti guru menasihati muridnya. Karena memang bapak dan ibumu juga guru. Aku ingin menemui mu tapi bapak mu menyembunyikanmu.

Kau baru dipanggil keluar kalau saya permisi pulang. sebenarnya itu termasuk perilaku yang kejam. Datang ke rumahmu sore hari sebelum magrib, begitu magrib aku berdiri dan azan dengan fasih. Keluar salat berjamaah yang diimami oleh bapak mu.

Ini juga penting dengan bapak mu aku juga lagi salat. setelah tamat SMA kau bekerja di BNI. (lalu) kuliah sore. Sampai kuliah aku juga bekerja di kantor bapak ku, agar bisa sering terbang, sekali seminggu aku minta menjadi asisten dosen dan mengajar di kelas mu tanpa honor. semua itu agar bisa bertemu dengan mu, dan melihat senyummu.

Keras sekali perjuanganku tapi demi menatap mu.

Akhirnya kau luluh juga. ayahku akhirnya memahami perbedaan adat kita, selain ibuku dan sahabatnya memberi nasihat. Mungkin juga setelah membaca buku Hamka, Tenggelamnya kapal Van der Wijk.

Semua itu karena untuk melihat senyum mu.

Saat orang tuaku melama rmu untuk jadi istriku, aku melihat cakrawala tersenyum perjuangan cinta bertahun tahun yang berbuah manis. Setelah kita menikah aku menjalankan perusahaan ayahku. kau sekretaris, merangkap keuangan karena kita belum bisa, memegang pegawai tambahan.

Di samping mengasuh anak dan mengurus rumah dengan baik. anak-anak kita kau asuh sendiri tanpa suster suster seperti cucu kita sekarang.

Selama 50 tahun kau chef terbaik yang ku kenal, karenanya kita jarang makan di restoran. di kantor pun setiap hari kau kirim makanan. teman teman selalu menunggu apa yang akan kau hidangkan. Kau tahu cintamu terus mengitari ku karena hidangan yang kau buat.

50 tahun kita jalani 33 tahun di Makassar dan 17 tahun di Jakarta. sungguh suatu perjalanan yang panjang. kita jalani hidup tanpa tanpa berubah kecuali Aku suka kesederhanaanmu sejak pertama aku melihat mu dan sekarang kesederhanaan mu terindah. Secara ekonomi gaji pejabat negara tidak besar. Termasuk Bapak Jokowi.

Lebih besar hasil usaha mu yang bermacam macam, Sampai tambak udang menelepon dari meja riasmu. Mungkin perpaduan semangat Minang dan Bugis yang kau alami. Kau perempuan hebat istriku.

Dalam aura kesederhanaan mu tersimpan energi yang dahsyat. Orang bugis tak fasih berkata kata indah. Kecintaannya ditunjukkan oleh perilaku, bahasa tubuh, dan senyumnya. Untuk romantis pun aku tak pandai ucapkan dengan kata kata.

Karena itu aku minta maaf kepadamu, karena selama 50 tahun aku tak pernah beri bunga sambil berucap I Love You.

Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani

Bagikan ke :