Konflik Timur Tengah dan Islam Nusantara

DMI.OR.ID, JAKARTA – Perang saudara dan konflik antar negara yang terus-menerus terjadi di Timur Tengah telah menjadi ancaman serius bagi ummat Islam di kawasan itu, bahkan di seluruh dunia. Lihat saja korban tewas di Iraq yang sudah mencapai 850 ribu jiwa akibat konflik, pasca vonis mati Presiden Sadddam Hussein.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, menyatakan hal itu saat menghadiri acara Pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU pada Ahad (14/6). Munas NU ini mengambil tema Memelihara Tradisi Rohani, Menjaga Keutuhan Negeri. 

“Lihat saja Suriah yang telah kehilangan 220 ribu jiwa penduduknya akibat  tewas pasca konflik dengan Presiden Bashar Al-Assad, begitu pula konflik Yaman dan Saudi yang telah menimbulkan ratusan korban jiwa,” tutur Kiai Said pada Ahad (14/6).

Menurutnya, situasi konflik di Timur Tengah ini sangat mengerikan dan memalukan bagi ummat Islam di seluruh dunia karena agama Islam justru lahir di Saudi Arabia tepatnyd di kota suci Mekkah. Akibatnya, Indonesia menjadi harapan bagi pusat peradaban Islam di masa depan.

“Kita patut mensyukuri suasana Indonesia yang relatif aman, damai, dan tidak terjadi konflik atau perang saudara hingga kini. Apalagi ummat Islam Indonesia adalah yang terbesar di dunia sehingga berpotensi menjadi pusat peradaban Islam dunia di masa depan,” paparnya.

Kaum Nahdliyin, lanjutnya, menolak berbagai bentuk kekerasan dan terorisme atas nama agama yang kerap terjadi di dunia Islam. “Terorisme dengan mengatasnamakan Islam adalah musuh Islam itu sendiri,” tegasnya.

“Menurut data penelitian LSI, jumlah orang NU yang ada di Indonesia ini mencapai 86,4 juta jiwa, sehingga NU-lah yang paling wajib menjaga Islam dan keutuhan NKRI ini. Wali Songo mensyiarkan Islam ke Indonesia dengan cara bertahap, bi tadrij, gradual, tidak sekaligus konsep syariah diterapkan,” paparnya.

Jadi, lanjutnya, agama Islam yang ada di Indonesia tidak pernah merusak tradisi dan kebudayaan yang ada, namun justru memperkuat tradisi dan kebudayaan nusantara dengan akhlaqul karimah dan peradaban yang lebih tinggi.

“Alhamdulilah, dengan cara ini penduduk nusantara yang sebelumnya mayoritas beragama Hindu, Budha, dan berbagai macam aliran kepercayaan yang ada, seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Gatholoco, Kaharingan, Parmalim dan lain-lain secara bertahap pindah ke agama tauhid, Islam, bahkan mampu mendirikan berbagai Kesultanan besar di Indonesia,” jelasnya.

Kondisi seperti ini, jelasnya, disebut dengan Islam Nusantara, yakni Agama Islam yang melebur dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam. “Diatas fondasi inilah keadilan Islam dibangun sejak dahulu, dengan taufiq dan akhlaqul karimah,” paparnya.

Dalam kegiatan ini, lebih dari 25 ribu jama’ah Nahdlatul Ulama (NU) memenuhi masjid Istiqlal untuk bersama-sama mengikuti istighotsah akbar, dzikir bersama, sholawat badar, mahallul qiyam dan sholat Dzuhur berjamaah.

Qari’ internasional, KH. Muammar ZA, juga memimpin jama’ah untuk bersama-sama melantunkan sholawat badar dengan penuh khidmat dan khusyuk. Hal yang unik, lantunan sholawat Badar itu menggunakan langgam Sunda di beberapa bagian.

Sholatullah, Salamullah, Ala Toha, Rasulillah, Sholatullah, Salamullah, Alaa Yasin, Habibillah, Tawassalna, Bibismillah, Wabil Haadi, Rosulillah, Wakul Limudja, Hidiilillah, bi Ahlil Badri, Ya Allah,” ucap KH. Muammar ZA dengan penuh khidmat, khusyuk dan tenang.

Adapun istighotsah dan sholawat berjama’ah dipimpin oleh Rais Aam Idarah Aliyah Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN), Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Para jama’ah pun sangat bersemangat dan khusyuk mengikuti istighotsah ini.

Hadir pula Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, yang menyampaikan amanatnya di depan para jama’ah. Adapun ketua panitia ialah H. Nusron Wahid, S.S, yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Anshor sekaligus Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNPTKI).

Hadir pula Rais Syuriah PBNU, KH. Drs. Masdar Farid Mas’udi, MA, yang juga Wakil Ketua Umum (Waketum) Pimpinan Pusat (PP) Dewan Masjid Indonesia (DMI), serta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Drs. H. Rudiantara, MBA, yang juga Ketua Departemen Kominfo, Hubungan Antar Lembaga (Hubla) dan Hubungan Luar Negeri (Hublu) PP DMI.

Beberapa menteri juga hadir seperti Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora),  H. Imam Nahrawi, S.Ag, Menteri Agama, Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (menteri PAN dan RB), Dr. Yuddy Chrisnandi.

Turut hadir Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI), Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti, dan Wakil Gubernur (Wagub) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, M.Si, serta mantan ibu negara RI, Nyai Hj. Shinta Nuriyah Wahid, M.Hum, dan mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Dr. H. Alwi Abdurrahman Shihab, MA, Ph.D.

Para alim u’lama, habaib, muballigh, dan da’i yang mengikuti Munas Alim Ulama NU pun turut hadir dalam acara pembukaan ini seperti Rais Syuriah PBNU, KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag dan KH. Mas Subadar. Hadir juga Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag), Prof. Dr. KH. Machasin, MA,

Khatib Syuriah Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur (Jatim), KH. Syafruddin, Rais Syuriah PBNU, KH Saifuddin Amtsir, MA dan Prof. Dr. H. Artani Hasbi, juga turut hadir. Adapun dari jajaran katib Syuriah PBNU, hadir KH. Yahya Cholil Staquf, KH Mujib Qolyubi, M.Hum, dan KH. Musthofa Aqil.

Para u’lama juga hadir seperti Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Ma’ruf Amin, yang juga Mustasyar PBNU, serta KH Ghazalie Masroeri, dan KH Abdullah Syarwani.

Adapun dari jajaran tanfidziah PBNU turut hadir Ketua PBNU, Prof. Dr. H. Maksum Mahfudz, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU, Dr. KH. Marsyudi Syuhud, Bendahara PBNU, H. Bina Suhendra, serta Wakil Sekjen PBNU, H. Imdadun Rahmat, MA, yang juga Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM).

Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani

Bagikan ke :