Konsep Ilmu dan Makna Islam Sebagai Agama: Membangun Epistemologi Islam

Paradigma keilmuan Islam memiliki perbedaan esensial dengan paradigma keilmuan Barat yang berpangkal dari dua pandangan utama, yakni rasionalisme dan empirisme, yang merupakan pilar utama dari metode keilmuan (scientific method) model Barat. Lalu dengan kajian epistemologi, seseorang akan dapat membuka perspektif baru dalam imu pengetahuan yang bersifat multi-dimensional. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal muasal, metode-metode, dan sah-nya (persyaratan) ilmu pengetahuan.

Sumber: http://carssergai.blogspot.co.id

Imanuddin menjelaskan hal itu dalam karyanya, “Filsafat Ilmu dalam Pengkajian Islam: membangun Format Epistemologi Kajian Islam Melalui Rekonstruksi Pemikiran Abed al-Jabiri,” yang dimuat dalam buku berjudul Studi Islam: Perspektif Insider/ Outsider, halaman 51. Buku ini diedit oleh Muhammad Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dll.

Muhammad Abed al-Jabiri. Sumber: www.islamlib.com

Ia juga mengutip tulisan Louis Kattsoff dalam bukunya, Element of Philosophy, yang diterjemahkan Soemargono, untuk mendefinisikan istilah epstemologi, serta mengutip pendapat K. Bertens dalam bukunya, Ringkasan Sejarah Filsafat, saat menjelaskan definisi dan pelopor aliran rasionalisme dan empirisme.

Rene Descartes, Sumber: http://www.philosophybasics.com

Menurut Imanuddin, epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Secara umum, terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi, yakni rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme merupakan aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sedangkan peran indera dianggap nomor dua (tidak terlalu penting). Aliran ini timbul sejak masa renaissance dan dipelopori oleh Rene Descartes, lalu dikembangkan berdasarkan filsafat Plato. Sedangkan filsafat empirisme bersumber dari filsafat Aristoteles yang menyatakan bahwa realitas ada pada benda-benda konkrit yang dapat diindera, bukan pada ide saja sebagaimana pendapat Plato.

  

Plato, Sumber: https://media1.britannica.com

Adapun Paradigma Keilmuan Islamic Studies dari para ilmuwan Muslim terbagi ke dalam tiga perspektif besar yang berbeda-beda. Hal ini berdasarkan respon mereka terhadap sains modern versi pemikiran ilmuwan Barat.

Kelompok pertama beranggapan bahwa sains modern bersifat universal dan netral. Semua sains dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Kelompok ini dikenal dengan sebutan kelompok Bucailan atau pengikut Maurice Bucaille. Ia adalah seorang ahli bedah Perancis yang menulis buku berjudul The Bible, The Qur’an, and Science. Namun pendapat Bucaille ini dikritik oleh Baqir as-Shadr, karena dianggap sebagai pendapat naif dan sangat riskan (resiko tinggi). Baqir as-Shadr menentang anggapan Maurice Bucaille karena ia menganggap al-Qur’an sebagai ensiklopedi sains.

Gambar terkait

Maurice bucaille, Sumber: http://www.republika.co.id

Sedangkan kelompok kedua berusaha untuk memunculkan sains di negara-negara Islam. Kelompok ini berpendapat bahwa ketika sains berada dalam masyarakat Islam, maka fungsinya akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam, khususnya dengan konsep Islamisasi Ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh imuwan yang termasuk dalm kelompok ini ialah Raji al-Farouqi, Naquib al-Attas, Abdussalam, dan lainnya. Namun, kelompok kedua ini juga dianggap naif dan dikritik oleh Baqir as-Shadr karena al-Qur’an diletakkan dalsm posisi sub-ordinat.

Gambar terkait

Syed Muhammad al Naquib bin Ali al-Attas, Sumber: http://www.alchetron.com

Adapun kelompok ketiga ialah kelompok yang ingin membangun paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku. Kelompok ini memusatkan perhatian pada prinsip, konsep, dan nilai utama Islam yang menyangkut pencarin dalam bidang tertentu. Paradigma perilaku menentukan batasan-batasan etika dana para ilmuwan dapat dengan bebas bekerja. Jika paradigma ala Maurice Bucaille berakhir dengan al-Qur’an, maka paradigma kelompok ketiga ini justru berangkat dari al-Qur’an. Para pendukung paradigma ini ialah Fazlur Rahman, Ziauddin Sardar, dan lainnya.

Hasil gambar untuk fazlur rahman

Fazlur Rahman, Sumber: http://www.islamlib.com

Sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah SWT, dengan konsep tauhid sebagai aqidah dan rahmatan lil a’lamin sebagai pandangan hidup ummat terhadap alam semesta beserta seluruh isinya, agama Islam tidak membeda-bedakan antara ilmu religius (agama) dengan ilmu non-religius (sekuler).

Foto Muhammad Ibrahim Hamdani.

Dalam artikel berjudul “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi” karya Armahedi Mahzar, tertulis bahwa peradaban Islam merupakan peradaban pertama yang megintegrasikan empirisitas dalam kehidupan keilmuan dan keagamaan secara terpadu. Itu sebabnya peradaban Islam mencatat kebangkitan peradaban yang mampu menghasilkan penemuan-penemuan luar biasa selama tujuh abad (700 tahun) lamanya sejak masa pemeirntahan (Daulah) Umayyah, Abbasiyyah, hingga Dinasti Fathimiyyah.

Foto Muhammad Ibrahim Hamdani.

Artikel ini terdapat dalam buku berjudul Integrasi Ilmu Agama: Interpretasi dan Aksi, halaman 92-93, yang diedit oleh Zainal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi, dan Afnan Anshori.

Armahedi Mahzar juga memaparkan gagasan tentang Paradigma Integralisme Islam sebagai suatu Model Pentadedik. Paradigma integralisme Islam terdiri dari lima kategori, yakni materi, energi, informasi, dan nilai-nilai, serta sumber. Kategori terakhir itu menjadi sumber esensial bagi kategori nilai-nilai dalam paradigma integralisme Islam. Paradigma integralisme ini tersusun secara hierarkis (berjenjang), mulai dari materi ke sumber, melalui energi, informasi, dan nilai-nilai. Hierarki ini juga tidak berbeda dengan hierarki dasar Islam yang secara implisit (maknawi) terstruktur dalam berbagai tradisi pemikiran Islam seperti tasawuf, fiqh, kalam, dan hikmat (hlm. 100).

Foto Muhammad Ibrahim Hamdani.

Dalam tradisi tasawuf, kelima kategori dalam paradigma integralisme Islam itu bersesuaian dengan jism, nafs, aql, qalb, dan ruh. Sedangkan dalam tradisi fiqh, kelima kategori itu bersesuaian dengan hierarki sumber hukum, yakni ‘urf, ijma’, ijtihad, sunnah, dan Qur’an. Adapun dalam tradisi teologis ilmu kalam, kelima kategori itu bersesuaian dengan khalqillah, sunnatullah, amrullah, shifatullah, dan dzatullah. Lalu dalam tradisi filsafat atau hikmat Islam, kelima kategori itu bersesuaian dengan ilah maddiyyah, ilah fa’iliyyah, ilah shuriyyah, ilah ghaiyyah, dan ilah tammah (hlm 101).

Penulis: Muhammd Ibrahim Hamdani

Bagikan ke :