Melampaui Satu dan Dua: Sebuah Refleksi Kebangsaan dan Kemanusiaan

Klimaks pemilu raya se antero Nusantara masih bertahan gaung dan hiruk pikuknya. Di saat sebagian besar rakyat ingin segera move on dari tema melelahkan bertajuk PILPRES dan berbagai ceritanya, terdapat beragam manuver dan tindakan dari kedua kubu yang semakin memperuncing suasana dan meningkatkan tensi ketegangan.

Hari hari terakhir ini kita disuguhi berbagai berita penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yang meski relatif berjalan dengan lancar dan aman, di sana sini masih terkuak beberapa ketidaksiapan, kekurang-akuratan, dan dinamika ketidakpuasan serta beragam tudingan kecurangan penyelenggaraan.

Yang lebih menghebohkan adalah pernyataan calon presiden yang sudah mengklaim kemenangannya berdasarkan hitungan real internal yang lucunya, belum dikemukakan sumber datanya, dan ternyata berkebalikan dengan hasil quick count dari beragam lembaga sebagaimana disampaikan di media massa. Kubu petahana juga tidak ingin kehilangan momentum, dan meski di awal awal menunjukkan bahwa despite indikasi kemenangan sudah digenggaman, namun secara subtle mereka memilih untuk menunggu pengumuman resmi dari penyelenggara resmi pemilu (KPU).

Manuver demi manuver. Propaganda dan klaim beragam suara. Semua demi mendapatkan dan memenangkan persepsi publik mengenai siapa yang (merasa) sudah memenangkan suara mayoritas dalam kontestasi politik yang sengit, ketat, dan diwarnai rivalitas membara antara tim sukses, simpatisan pendukung, relawan, dan tentunya masyarakat luas yg terbelah di akar rumput.

Lalu beragam pemberitaan real dan surreal (hoax)  pun diterbitkan dimana mana. Batas imajiner dan realita semakin kabur dan atau terkaburkan. Masing masing orang, tokoh dan pihak dengan mudahnya, dan tentunya dengan pretensi subjektif masing-masing tak ketinggalan bersuara, ikut meriuhkan keadaan, yang sejatinya kini sudah mesti memasuki fase anti-klimaks yang mensudahi berbagai bentuk kehebohan, pertentangan dan adu klaim serta kecurigaan.

Kejar kejaran hasil quick count dicounter dengan klaim hasil real count. Situs KPU menjadi alamat paling rajin disambangi, dan ketika distribusi pie chart tidak seperti yang diharapkan, rasa penasaran semakin terbakar untuk mencari cari kesalahan demi kejanggalan. Semua tiba tiba menjadi pengamat politik tingkat dewa yang fasih dan memahami bagaimana menginterpretasikan perubahan data yang dinamis dan seperti apa sampel, populasi, juga sekuens input data memengaruhi display (throughput) data yang belum 100% tuntas ini. Semua secara spontan berasumsi, berspekulasi, dan beropini meski kebanyakan dari kita nirkapasitas atau tidak dalam kapasitas sebagai penyelenggara, pengawas, pemantau ataupun observer Pemilu.

Sepertinya kita lupa, bahwa gelaran akbar pemilihan umum (yg termasuk terbesar dan ter kompleks sedunia) ini sudah ada yang berwenang mempersiapkan, menyelenggarakan dan mengawal serta mengawasinya, dan bahwa mereka semua disumpah, bertanggungjawab dan secara etis mesti bersikap NETRAL, JUJUR dan FAIR dalam mengemban tugas yang diamanahkan oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada. Tidak banyak dari kita yang mungkin menginsafi, bahwa menyelenggarakan pemungutan suara secara serentak di seluruh pelosok negeri yang besar ini adalah sebuah pekerjaan maha berat jika tidak disebut sebagai mission impossible yang 100% bebas dari error dan insiden. Dan, mari sejenak kita bersimpati, pada insan insan yg merelakan waktunya untuk menjadi panitia pemungutan suara, panitia pengawas, saksi saksi, serta aparat lainnya yang berjaga, mengawal, mengantar dan melindungi kotak suara tempat aspirasi rakyat ditentukan dan dimasukkan.

MARILAH kita menahan diri, dan tidak terjebak pada pragmatisme serta provokasi juga agitasi yang seolah olah menunjukkan bahwa bangsa ini belum siap berdemokrasi dengan dewasa dan arif bijaksana.

MARILAH kita berhenti menghakimi, mudah melontarkan tuduhan, fitnah, hasutan dan mosi tidak percaya, di tengah kerja keras para petugas dan relawan Demokrasi yang mempertaruhkan segalanya mengorbankan waktu dan tenaganya untuk menjawab keraguan dan rasa penasaran kita semua.

MARILAH kita menyadari, bahwa riuh perpolitikan yang negatif, destruktif apalagi impulsif merupakan ancaman bagi ketenangan, kedamaian dan kedaulatan bangsa Indonesia yang majemuk, beragam namun dipersatukan dalam wadah NKRI ini.

MARILAH kita berSABAR, sabar dalam beropini, sabar dalam merasa, sabar dalam berpandangan dan mengambil tindakan. Karena kita tidak tahu, musuh mana yang mengintai, mengipasi, atau menanti dengan antusias saat saat kita berpecah belah, sehingga mudah dikuasai dan ditaklukkan?!

Dan, MARILAH SEKALI LAGI, kita mengingat perkataan mendiang Gus Dur, bahwa yang lebih penting dari politik adalah KEMANUSIAAN. Bahwa manusia dan kemanusiaan ada dan lebih penting dari nafsu berkuasa, memerintah dan dominasi politik serta pergulatan rejim. Jangan sampai semua tatanan kebangsaan, norma kemanusiaan, cita cita Para Bapak Pendiri bangsa, mimpi dan harapan masa depan Generasi Muda, jangan sampai semua sirna, runtuh, hancur lebur dan musnah punah begitu saja.

PEMILU yang gelarannya baru usai adalah pesta demokrasi, kenduri perpolitikan, juga walimah anak anak bangsa untuk menyalurkan aspirasinya, menyampaikan suara politiknya, dan pengejawantahan sila “KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN”.

Ada yang lebih utama, dan mendahului sila tersebut. Yakni, “PERSATUAN INDONESIA”, persatuan dan kesatuan serta kebersatuan rakyat Indonesia seluruhnya, seutuhnya! Inilah saat saat dimana narasi PERSATUAN (DEMI) INDONESIA lebih harus diketengahkan daripada polemik tak berkesudahan siapa yang menang dan kalah, siapa yang pantas memimpin dan tidak, siapa yang menguasai sumberdaya, juga siapa yang menentukan arah kehidupan pemerintahan periode selanjutnya.

Sungguh, nikmatnya kedamaian baru dirindukan saat peperangan berkecamuk.

Sungguh, nilai mahal ketenangan baru diketahui di saat kekacauan muncul di mana mana.

Dan sungguh, kehidupan jauh lebih pantas diperjuangkan daripada angkara murka yang melahirkan kematian demi kematian…

Sebagai anak bangsa, sebagai salah satu eksponen organisasi yang berdiri dan berjuang untuk kemakmuran bangsa dan kehormatan agama, sebagai salah satu calon penerus tongkat estafet kepemimpinan di masa mendatang, ijinkan saya mengingatkan:

PERSATUAN adalah syarat mutlak untuk berjuang menuju KEMAJUAN dan KEMENANGAN.

KEADILAN hanya akan lahir dari kejujuran, keterbukaan, serta adanya mekanisme dialogis melalui musyawarah, permufakatan dan kesepahaman.

Dan, Kita semua harus melihat ke depan, kembali bergandengan tangan, bersatu padu, seraya saling mengisi, saling menjaga, juga saling hormat (RESPECT) & saling percaya (TRUST), demi melanjutkan perjuangan mengisi KEMERDEKAAN, demi mendamaikan dan menghidupkan toleransi dari unsur unsur yang berkonflik,  hingga demi mengantarkan bangsa Indonesia ke cita cita luhur yang menjadikan kita berbangsa dan bernegara untuk kali pertama.

SATU atau DUA mungkin hanyalah pilihan. Dan setiap pilihan akan memberi konsekuensi serta jawaban akan perwujudan harapan juga impian.

SATU mungkin yang Paling BAIK dari pilihan yang ada, DUA bisa jadi solusi TERBAIK untuk mengemban asa.

Tetapi, SATU atau DUA sejatinya bukan pilihan semata, keduanya tidaklah mesti dinegasikan ataupun dinisbikan salah satunya.

Kita membutuhkan keduanya, semuanya, segenap sumberdaya, figur terbaik anak bangsa, untuk menjadi pemimpin yang negeri ini pantas miliki, yang rakyat ini sangat berharap untuk diayomi.

Bukan SATU atau DUA, yang mana yang berkuasa?

Tetapi, ayo, SATU dan DUA, Anda dan Kita semua adalah SATU dan BERSAUDARA BERSAMA SAMA.

Sebagaimana halnya, kemanusiaan mengungguli perpolitikan dan nafsu berkuasa…

Maka, ada yang sekarang lebih penting dari sekedar kamu SATU ataukah mereka DUA, yakni penggabungan dan peleburan keduanya,

Sehingga kita ‘kan beroleh,  SATU + DUA, TIGA lah resultan dan hasilnya: PERSATUAN INDONESIA!

MERDEKA!!!

Ahmad Arafat Aminullah

Ketum PP PRIMA DMI

Bagikan ke :