Misi Perdamaian Afghanistan

Kunjungan selama beberapa hari Pak Jusuf Kalla (JK) ke Kabul (Afghanistan) sangatlah penting, tidak saja untuk menghentikan konflik dan membangun perdamaian di Afghanistan, akan tetapi juga diharapkan bisa menjadi kontribusi penting terwujudnya tatanan dunia yang damai dan aman. Selain penulis, ada beberapa anggota delegasi lainnya yang membersamai JK membawa missi perdamaian ini yaitu Prof Hamid Awaluddin, KH Muhyiddin Junaidy, Murniati Mukhlisin, Husain Abdullah, Solihin Kalla, dan Wahban. Antusiasme Afghanistan paling tidak yang ditunjukkan Presiden Afghanistan, sejumlah menteri, ketua umum majelis tinggi untuk rekonsiliasi Afghanistan, penasehat presiden untuk  keamanan nasional, para ulama, aktivis dan tokoh perempuan, sangatlah terasa. Harapan kepada bangsa Indonesia untuk memainkan peran strategis perdamaian di Afghanistan sangatlah besar. 

Konflik Afghanistan

Afghanistan  termasuk negara yang memiliki sejarah konflik dan perang  yang panjang dan menelan korban yang tidak sedikit. Pertama, invasi Soviet  tahun 1979, beriringan dengan revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khumainy,  dengan pertempuran selama 9 tahun. Akan tetapi, penarikan Soviet  jusru melahirkan perang saudara sampai kemudian Taliban berhasil mengambil alih kekuasaan pada tahun 1996. Kedua, invasi Amerika ke Afghanistan pada 2001 sejak peristiwa 11 September 2001 (pengeboman WTC)  dengan anggapan bahwa pemerintah Taliban mendukung Osmaha bin Laden dengan al-Qaidanya. Sejak jatuhnya pemerintah Taliban hingga terbentuknya sebuah pemerintahan yang dibangun berdasarkan demokrasi hingga hari ini, Afghanistan sering mengalami pengeboman dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Tingkat keamanan sangatlah rendah sebagai akibat perlawanan Faksi Taliban dengan korban yang tidak sedikit. Ethnis  Pasthun, backbone Taliban, pun juga mengalami penderitaan yang panjang. Bahkan tak sedikit mereka yang kemudian melarikan diri ke Pakistan.

Berbagai upaya damai dilakukan termasuk kesepakatan Washington dengan Taliban bulan Februari 2020 lalu yang antara lain menyebutkan  pasukan Amerika akan ditarik mundur dari Afghanistan pada bulan April 2021 dengan syarat  Taliban harus memerangi kelompok teroris  terutama yang berafiliasi dengan ISIS. Akan tetapi, berbagai perjanjian tersebut “tidak berhasil” begitu ungkap Hamid  Karzai, presiden pertama Republik Islam Afghanistan. Kekerasan terus berlanjut dan penderitaan rakyat akan terus berlangsung “hingga kita menemukan jalan” kata Abdullah Abdullah Kepala Majelis Tinggi  Afghanistan untuk rekonsiliasi nasional. Jadi sudah 40 tahun Afganistan mengalami trauma perang dan sangat berharap ada langkah terang untuk damai dalam arti yang sesungguhnya dengan negotiator atau mediator yang tepat dan dipercaya.

Peran Indonesia

Sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar dengan Wasatiyatul Islamnya, Indonesia sangat  diharapkan memainkan peran-peran penting untuk rekonsiliasi sekaligus menciptakan perdamaian di Afghanistan. Antusiasme yang ditunjukkan pemerintah Afghanistan, para ulama, aktivis perempuan dan pelaku bisnis Afghanistan selama kunjungan JK dan delegasi memberikan sinyal kuat bahwa Indonesia memang sangat diharapkan. Kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan yang kemudian dipuji oleh Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga bagian penting langkah Indonesia membantu untuk perdamaian  Afghanistan.

JK nampak menjadi perhatian khusus bagi Afghanistan sehingga diundang oleh Presiden Afghanistan untuk diminta bantuannya menciptakan perdamaian. Tidak saja pernah menjadi wakil presiden RI, akan tetapi keberhasilannya menjadi peace negotiator untuk  konflik Ambon, Poso dan Aceh telah  menarik perhatian pemerintah Afghanistan. Pengalamannya akan sangat berharga untuk menghadirkan kelompok yang bertikai terutama Taliban, membangun dialog secara terbuka dan penuh kepercayaan, saling memberi dan menjaga untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar.

Di samping itu, orientasi membangun kemasalahatan dan kerahmatan  dalam proses menciptakan perdamaian sangatlah penting. Karena itu, pendekatan yang dipilih dan ditawarkan dalam missi damai JK, hemat penulis ialah humanistik. 

Pendekatan humanistik perdamaian ini tidak sekedar menghentikan pertentangan dan peperangan, akan tetapi  menciptakan kehidupan bersama secara normal di mana kedaulatan dan martabat kehidupan setiap orang memperoleh perlindungan maksimal. Untuk itu, pendidikan harus ditransformasi dan ekonomi juga harus dipulihkan dan disehatkan sehingga setiap warga memperoleh hak-haknya secara adil. 

Melalui pembangunan dan modernisasi  bidang pendidikan, diharapkan akan lahir generasi baru Afghanistan yang tidak sekedar menguasai sains, teknologi dan seni, akan tetapi juga pandangan keagamaan yang lebih inklusif, wasathy, dan mendorong kemajuan. Diiringi dengan membangun ekonomi, maka tingkat keadilan dan kesejahteraan masarakat meningkat dan ekstimisme berhenti. Ekstrimisme dalam bentuk apa pun, antara lain dipicu oleh disparitas sosial ekonomi yang dibiarkan. Karena itu, kerja sama bidang pendidikan dan ekonomi Indonesia-Afghanistan sangatlah strategis dan perlu dilakukan sebagai strategi membangun perdamaian di Afghanistan.

Humanistic approach lain untuk perdamaian Afghanistan  ini ialah agama. Meskipun menganut madzhab Islam yang berbeda, akan tetapi kerja sama Muslim Indonesia-Afghanistan tetaplah terbuka lebar.

Perbedaan madzhab ini bukanlah problem dan hambatan. Perbedaan-perbedaan itu justru menjadi pintu masuk untuk memperkuat titik-titik persamaan sehingga menjadi energi kuat untuk mewujudkan perdamaian dan kerahmatan, termasuk di Afghanistan.

Berbenturan atau membenturkan perbedaan, justru akan memporakporandakan kehidupan. Madzhab Islam apapun haruslah bisa saling mengisi, saling belajar, saling berdampingan dan menghargai untuk kemaslahatan bersama.  

Tentu saja, membutuhkan kerjakeras (Ijtihad) secara bersama-sama antara lain untuk membangun sebuah kepemimpinan politik yang bisa dipercaya semua pihak dengan membuktikan prinsip dan nilai-nilai Islam terimplementasi dengan baik misalnya dalam menyelenggarakan pemerintahan atau  mengelola negara, mengatur ekonomi supaya berkeadilan, menegakkan hukum dan HAM secara adil atau tidak diskrimintif.

Afghanistan bersedia menimba pengalaman Indonesia dan karena itu kerja sama yang diarahkan untuk memperkuat pandangan dan kehidupan keagamaan Wasotiyah sangatlah urgent. Dialog dan kerja sama bidang ini sangat terbuka antara lain karena umat Islam melalui para Ulama berperan penting menumbuhkan nasionalisme Indonesia, mewujudkan kemerdekaan, mendirikan negara RI dan merumuskan dasar negara.

Kehadiran dan peran ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU dalam bidang sosial, pendidikan, kemanusiaan juga menjadi modal penting bagi kerja sama ini. Karena itu berbagai skema scholarship untuk anak-anak muda Afghanistan yang belajar di berbagai lembaga pendidikan yang dikola oleh umat Islam sangat perlu dilakukan.

Hal lain yang menjadi perhatian penting adalah kenyataan umat Islam adalah penduduk terbesar di Indonesia, akan tetapi karena toleransi (tasamuh)-nya dan komitmen besarnya untuk menjaga ”perjanjian atau gentlemen agreement” (al-Ahdu atau al-Mitsaq) maka Indonesia tegak sebagai Negara Pancasila, bukan Negara Islam. Dengan Pancasila, Indonesia sebagai bangsa besar dan majemuk menaungi berbagai perbedaan suku, bahasa dan bahkan agama. Kesamaan dan kesederajatan posisi agama-agama dilindungi secara hukum dan ini  menjadi kekuatan bagi integrasi bangsa. 

Pendekatan inilah yang ditawarkan JK selama dalam lawatan misi perdamaian di Afghanistan dan disambut dengan antusias. Pihak Afghanistan sangat konfiden bahwa Indonesia (melalui peran-peran organisasi civil society muslim) adalah mitra yang tepat untuk menyelesaikan berbagai kemelut yang telah terjadi cukup panjang sembari menatap dan  membangun era baru Afghanistan yang damai. Melalui pendekatan ini, misi JK ke Kabul di samping membantu untuk resolusi konflik, juga membuka ruang kerja sama bidang ekonomi dan pendidikan secara lebih luas.

Sumberhttps://republika.co.id/berita/qm3gbf282/misi-perdamaian-afghanistan-part1

Bagikan ke :