Sekali Lagi, Memahami Tolerasi

Dalam kehidupan yang ragam (plural), toleransi menjadi sebuah kebutuhan dasar. Apalagi jika keragaman itu memang menjadi bagian dari sebuah “cara pandang” hidup dari masing-masing anggota masyarakat. Ditambah lagi bahwa dunia global yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan kecepatan informasi menjadikan hubungan antar manusia nyaris tanpa batas lagi.

Keragaman hidup sesungguhnya adalah karakteristik kehidupan sosial yang alami sifatnya. Bahkan secara agama menjadi bagian dari “sunnatullah” (khalqullah) yang manusia tidak memiliki intervensi apa-apa. Seseorang terlahir dengan kulit hitam, atau dari kalangan ras tertentu, bahkan tumbuh dengan keyakinan dan agama tertentu masuk dalam kategori “sunnatullah”.

Saya memang yakin bahwa semua manusia terlahir dengan inklinasi atau kecenderungan tunggal. Yaitu bersikap “hanif” dalam menyikapi Tuhan penciptanya. Inklinasi tunggal ini dikenal dengan fitrah manusiawi. Sebuah inklinasi yang kekal (laa tabdiil) dan akan bersifat abadi dalam “relung kalbu” terdalam setiap insan.

Akan tetapi dalam perjalanannya, untuk menjaga konsistensi (keistiqamahan) dari inklinasi itu, semuanya ditentukan oleh pilhan manusia. Ada yang memilih untuk tetap konsisten dengan “fitrahnya”. Tapi tidak sedikit juga yang memilih untuk keluar dari inklinasi dasar itu.

Kebebasan dasar pada setiap manusia untuk menentukan jalan hidup selanjutnya, istiqamah dalam fitrah atau melakukan deviasi darinya, itulah yang kemudian menjadikan tumbuhnya keragaman dalam keyakinan. Dan keragaman ini mutlak dipahami pula sebagai bagian dari “kehendakNya”.

Oleh karena keragaman adalah bagian dari kehendak Tuhan, berdasarkan kepada “pilihan” (kebebasan) manusia, maka hingga berakhirnya hidup dunai ini akan tetap eksis. Bercita-cita untuk menjadikan semua manusia berada dalam satu tatanan keyakinan adalah kemustahilan, sekaligus menentang kehendak Tuhan dan kealamiaan hidup.

Oleh karenanya hanya ada satu sikap yang mutlak dihadirkan. Yaitu kesiapan untuk meneriman eksistensinya. Sekaligus menghormati keputusan setiap orang untuk memilih berdasarkan kebebasannya masing-masing mana keyakinan yang dianggap sebagai kebenaran dan jalan hidupnya.

Keragaman versus persamaan

Ada sebagian pihak yang keliru dalam memahami makna toleransi dalam menyikapi keragaman dalam masyarakat. Seolah toleransi dalam menyikapi keragaman dengan berupaya menjadikan keragaman yang ada “satu”. Dengan kata lain, hanya dengan menyamakan semua hal akan tumbuh toleransi itu.

Padahal, upaya tersebut adalah “self paradox” atau sebuah sikap yang kontradiktif pada dirinya. Bagaimana mungkin keragaman dapat disatukan atau disamakan? Bagaimana warna kulit putih dipaksakan untuk dipahami sebagai kulit hitam? Bagaimana mungkin keyakian seorang Muslim dipaksakan untuk menyamakan keyakinan seorang Katolik dalam memandang Yesus?

Selain self paradoks, upaya “penyamaan” semua agama-agama itu bertolak belakang dengan konsep “tanawwu’” dalam agama. Bukankah Tuhan sendiri yang mendeklarasikan: “Dan kalau Allah berkehendak niscaya Dia jadikan kamu satu umat”.

Dengan kata lain, Allah tidak menghendaki demikian. Selain karena memang itulah sunnatullah dalam ciptaanNya, juga karena dengan adanya pluralitas dama hidup akan terjadi “interdependence” (saling ketergantungan) di antara manusia. Sehinga memang adanya keragaman ini menjadi kebutuhan hidup itu sendiri.

Oleh karenanya upaya penyatuan agama-agama adalah keliru dan tidak akan terjadi. Justeru hingga akhir zaman akan ada teru perbedaan keyakinan itu. Dan bagi seorang Muslim ini adalah bagian dari dasar pemahanan teologi kita.

Tolerasi Itu Luas

Sekali lagi toleransi itu adalah menerima eksistensi “keyakinan” orang lain. Bahkan keyakinan yang dianggap kebenaran oleh pihak lain. Dan atas dasar penerimaan adanya keyakinan yang berbeda dari keyakinan kita, tumbuhlah sikap toleransi itu.

Akan tetapi menerima adanya keyakinan orang lain tidaklah pernah dimaksudkan untuk “menerima” atau “mengikuti” atau “mengamalkan” keyakinan orang lain. Justeru sebaliknya toleransi di sini adalah menerima adanya atau eksistensi keyakinan orang lain, yang berbeda dari keyakinan kita.

Oleh karenanya kecenderungan untuk memahami toleransi dengan meyakini atau ikut melakaanakan keyakinan orang adalah keliru. Sebab jika keyakina lain itu telah diterima (diyakini) dan/atau diamalkan maka toleransi tidak lagi diperlukan. Toh memang tidak perlu karena sudah menjadi keyakinan sendiri.

Atas pemahaman seperti di atas saya ingin mengatakan bahwa toleransi itu jauh lebih besar, lebih mulia, lebih terhormat dari sekedar ucapa “selamat hari besar” umat lain.

Terlepas apakah saya setuju dengan ucapa selamat natal, atau tidak setuju, insya Allah tidak akan mengurangi toleransi saya kepada agama lain. Toh bagi saya toleransi itu sudah bagian dari iman dan ajaran nabi saya.

Dengan demikian, pro kontra tentang ucapan natal jangan meregradasi makna toleransi. Karena insya Allah kalau teman-teman Kristiani saya tidak menyampaikan “selamat hari raya” kelada saya tidak akan mengurangi keyakinan saya jika mereka toleran. Selama merek menerima eksistensi keyakinan dan praktek agama saya.

Demikian pula jika saya memilih untuk tidak mengucapkan selamat natal karena pertimbangan “urusan rumah tangga agama saya” kiranya jangan dipahami sebagai sikap intoleran. Toh saya menerima dan menghormati ibadah saudara-saudara kami atas keyakinan yang mereka junjung tinggi.

Dengan pemahaman seperti ini kita saling memahami dan menghormati dalam hal-hal yang memang menjadi perbedaan. Dan di situlah akan tumbuh makna keindahan dalam perbedaan. Beda tapi tetap menjaga kedamaian, ketentraman dan kerjasama demi terwujudnya dunia yang tersenyum.

Happy Holidays to all!

New York, 25 Desember 2016

Penulis:

Imam Shamsi Ali

Presiden Nusantara Foundation

Bagikan ke :